Tasawuf sebagai sebuah
disiplin ilmu adalah ilmu yang mempelajari berbagai kaedah untuk merbersihkan
hati dan seluruh anggota tubuh manusia. Sedangkan pengertiannya dari sisi
pengamalan adalah mengerjakan semua yang diperintahkan Allah swt dengan
sempurna, menjauhi larangan-larangan-Nya, serta mengerjakan yang dibolehkan
ketika darurat saja.
Sedangkan tarekat secara
etimologi diambil dari bahasa Arab yaitu Thariqah, yang berarti jalan, metode,
atau tata cara.
Secara terminologi, Syekh Muhammad
Amin al-Kurdi mendefinisikannya “beramal dengan
syariat dengan memilih Azimah (hukum asal) daripada rukhshah (keringanan
bagi mukallaf pada hal-hal terntentu). Menjauhkan diri dari mengambil pendapat
yang mudah dalam amal ibadah yang tidak sebaiknya dipermudah. Bisa juga
dikatakan, menjauhkan diri dari semua larangan lahir dan batin, melaksanakan
semua perintah Allah SWT semampunya, meninggalkan semua larangan-Nya baik yang
haram, makruh atau mubah, melakukan semua ibadah fardhu dan sunah, di bawah
bimbingan seorang mursyid ‘arif billah yang telah mencapai derajat yang
tinggi.
Menurut
definisi diatas, jelaslah bahwa tarekat tasawuf yang benar mesti sejalan dengan
syariat. Tidak menyalahi Al-Qur’an dan Sunnah. Jika ada tarekat tasawuf yang
melenceng dan menyalahi Al-Qur’an dan sunnah, maka itu termasuk tarekat yang
tidak mu’tabarah. Bahkan di dalam sendiri sangat menolak hal-hal yang
bertentangan dengan keduanya juga sangat dilarang untuk diamalkan.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah pendekatan diri kepada Allah,
sedangkan tarekat itu adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam
usahanya mendekatkan diri kepada Allah.
Jalan yang ditempuh
tersebut mestilah di bawah bimbingan dan arahan seorang mursyid (guru
spiritual) yang menunjukkan jalan yang aman dan selamat untuk sampai kepada
Allah (ma’rifatullah).
Posisi
mursyid di dalam sebuah tarekat ibarat seorang guide yang hafal jalan
dan pernah melalui jalan tersebut sehingga dibawah bimbingan dan arahannya dapat
dipastikan tidak akan tersesat dan sampai ke tempat yang dituju. Mursyid dalam
tarekat bukan hanya membimbing secara lahiriah saja, tapi juga secara batiniah.
Mereka adalah perantara atau mediasi antara seorang murid/salik dengan
Rasulullah SAW dan Allah SWT.
Jika tarekat tasawuf
yang merupakan salah satu wujud nyata dari tasawuf diibaratkan sebuah madrasah,
maka syekh atau mursyid adalah pembimbing
murid-muridnya di madrasah tersebut. Syekh adalah pengasuh, ustad yang memberi
penawar yang sesuai dengan keadaan si murid.
Seorang Syekh haruslah sempurna dalam ilmu syariat dan hakikat, bukan salah
satunya saja.
Apakah wajib bagi muslim
untuk bertasawuf? Apabila yang dimaksudkan dengan tasawuf adalah selalu
mengerjakan keta'atan dan meninggalkan kemunkaran, maka hukum bertasawuf adalah
fardhu a'in. Karena, menurut Imam Al-Ghazali manusia tidak ada yang luput dari
aib dan penyakit hati kecuali para nabi yang maksum.
Sedangkan hukum bertasawuf
dengan makna mengambil tarekat tasawuf yang sampai sanadnya kepada Rasulullah,
maka hukumnya sunnah. Sebagian ulama, seperti Syaikh Abdullah bin Shiddiq Al
Ghumari, bahkan berpendapat mengambil tarikat tasawuf hukumnya wajib. Hal ini
disebabkan karena
bertarikat tasawuf adalah maqam ihsan yang merupakan cerminan dari hadis Jibril
As. Adapun maqam ihsan itu sendiri merupakan bagian dari tiga pilar agama. Oleh
karena itu wajib hukumnya menyempurnakan rukun agama.
Terdapat banyak sarana untuk mencapai makrifah Allah (al wushul
ilallah). Oleh karena itulah terdapat banyak tarekat tasawuf, karena
tarekat sendiri berarti "jalan". Perbedaan jalan itu tergantung
kepada syaikh dan murid itu sendiri. Sedangkan tujuannya tetap satu, yaitu
Allah swt.
Sebagaimana Rasulullah saw.
menasehati sahabatnya untuk mengerjakan apa yang mendekatkan diri kepada Allah
sesuai dengan kondisi mereka yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, Rasulullah saw. pernah ditanyakan oleh sahabatnya,
“Ya Rasulullah, katakan kepadaku tentang amalan yang dapat menjauhiku dari
amarah Allah. Rasulullah saw. menjawab, "Jangan marah". Namun, di
lain waktu, ketika sahabat yang lain datang bertanya, Rasul menasehatinya untuk
senantiasa membasahi lidahnya zikrullah. Begitu juga para sahabat Rasul
sendiri ada yang memperbanyak shalat malam, banyak berjihad, zikir, sadaqah, dll.
Nah, Ketika memperbanyak dan terus menekuni satu ibadah, bukan
berarti meninggalkan ibadah yang lain. Tapi terdapat ibadah atau amalan
tertentu yang diberikan porsi lebih banyak oleh seorang salik untuk
membuatnya sampai kepada tingkatan makrifah (wushul) kepada Allah
swt.
Tabiat jiwa manusia tertumpuk didalamnya berbagai penyakit hati seperti
takabur, ujub, egois, pelit, marah, riya, suka kepada maksiat dan kemunkaran.
Oleh karena itu para ulama-ulama dulu sangat fokus akan pentingnya mentarbiyah
hawa nafsu dan menghilangkannya dari penyakit-penyakit. Hal ini dilakukan
semata-mata untuk mewujudkan keharmonisan dalam menjalani kehidupan di
masyarakat. Begitu juga untuk memperoleh kemenangan dalam menempuh perjalanan
menuju makrifatullah yang hakiki. Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar